Article Detail

Tarakanita dan Pendidikan Karakter

Sendai, Jepang 2011, setelah gempa dan tsunami, orang-orang yang selamat kehabisan air, lelah dan letih. Setiap orang rela menunggu dan antri. Sekalipun dalam situasi sangat darurat, orang-orang masih mempertahankan disiplin dan saling menghargai. Di deretan antrian, ada seorang anak 9 tahun yang kehilangan orang tua dan seluruh keluarganya. Seorang Polisi Ha Minh Thanh yang mengawasi antrian merasa prihatin kepada anak itu. Ia kemudian mengambil makanan tentara dan jaket untuk diberikan kepada anak itu. Tanpa disangka, si anak keluar barisan lalu meletakkan makanan dan jaket di meja pembagian lalu kembali ke antrian. “Banyak orang sudah lama berbaris, tidak adil jika saya makan lebih dulu... saya letakkan di sana biar adil. Jika memang masih dimungkinkan maka saya akan makan, tetapi jika tidak maka ada orang lain yang lebih memerlukan dari saya...”, demikian jawab si anak ketika ditanya oleh sang Polisi (New Amerika Media 19 Maret 2011, Andrew Lam, editor New America Media).

Kisah yang sangat menarik untuk direnungkan, terlebih di tengah-tengah semakin maraknya gagasan pendidikan karakter di sekolah. “Belajar mengenai karakter dari peristiwa, pengalaman, dan contoh konkrit menjadi salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat diadopsi dalam kurikulum pembelajaran”, tegas Bp. Fidelis Waruwu dalam acara sharing Esensi Pendidikan Karakter dan Aplikasi Praktis di Sekolah pada kesempatan Rakornas Yayasan Tarakanita di Jakarta tanggal 30 Januari 2012. Bertempat di Rumah Doa Guadalupe Duren Sawit, Bp. Fidelis memberikan pengarahan, penegasan sekaligus peneguhan mengenai desain Pendidikan Karakter kepada seluruh Struktural Kantor Pusat dan Wilayah Yayasan Tarakanita.



Mengawali diskusi dengan membahas etimologi “karakter” yang berasal  dari Bahasa Yunani “kharassein” (kharak) yang berarti “to mark” (menandai) atau alat mengukir. Secara sederhana “karakter” diartikan sebagai sifat-sifat kebajikan sebagai hasil ‘ukiran’ yang terinternalisasi dalam diri seseorang. Maka “Pendidikan Karakter” dapat dipahami sebagai upaya mengajarkan kepada peserta didik budaya yang membantu mereka mengembangkan berbagai standar moral, kewarganegaraan, perilaku yang sehat sehingga menjadi pribadi yang secara sosial diterima oleh masyarakatnya.

  

Sejak lahir seseorang membawa potensi untuk mampu berpikir (kemampuan kognitif), mampu merasakan (kemampuan afektif), mampu mendengarkan suara hati (kemampuan moral-spiritual).   Lalu bagaimana karakter seseorang dapat terbangun? Langkah pertama dari proses pembentukan karakter itu adalah “Observasi” (mengobservasi setiap prilaku orang dewasa), kedua “Imitasi” (menirukan perilaku tersebut menjadi perilakunya), ketiga “Habit” (kebiasaan), keempat “Sifat” (kebiasaan menonjol yang selalu diulangi), dan kelima terbentuklah “Karakter” (penampakan diri seseorang). Yang terpenting dari tahap-tahap tersebut adalah menyediakan role model (observasi) dan upaya peniruan (imitasi), sebab habit, sifat, dan karakter akan muncul dan terbentuk dengan sendirinya setelah melalui proses observasi dan imitasi.

Dalam konteks Tarakanita, pendidikan karakter haruslah berakar dan berangkat dari spiritualitas “cinta kasih tanpa syarat yang berbelarasa”. Seluruh peserta didik hendaknya mengobservasi (mengalami secara langsung) CINTA KASIH sejak mereka memasuki gerbang sekolah, di koridor, di kelas, dalam setiap interaksi guru-siswa dan interaksi siswa-siswa. Dari sana mereka akan mengalami proses imitasi di mana mereka terdorong untuk meniru perilaku tersebut, menghayati cintakasih tanpa syarat dalam kehidupan mereka.

Bagaimana hal tersebut diaplikasikan?
Pertama: Total Action
Semua Guru dengan potensinya masing-masing menghidupi nilai “Cinta kasih tanpa syarat” yang kelihatan melalui sorotan mata, nada suara, bahasa tubuh, ketika bersalaman, ketika saling berkomunikasi, ketika mengajar dan memberikan bimbingan pribadi pada setiap peserta didik.

Kedua: Daily Action
Mengajak setiap anak didik untuk menghidupi cinta kasih tanpa syarat dalam kehidupan sehari-hari: ketika berkomunikasi dengan teman-teman, dalam cara menyapa teman, nada suara ketika menjawab orang lain, sapaan yang tulus dan penuh penghargaan.

Ketiga: Dorongan terus-menerus
Kebiasaan menjadi bahan pembicaraan setiap guru ketika mengajar di depan kelas, pembicaraan setiap siswa, praktek nilai menjadi tema pembicaraan yang terus-menerus tanpa henti.

Untuk mendukung efektifitas proses aplikasi di sekolah, perlulah diperhatikan beberapa hal berikut ini:
  1. Self Awareness: setiap guru menginternalisasi dan menjadi model pendidikan karakter, kontrol dan evaluasi berkesinambungan
  2. Pengetahuan Dasar: setiap guru mengetahui bagaimana proses pendidikan karakter, pembentulan kepribadian dan membantu anak didik dalam proses internalisasi
  3. Kompetensi: guru memiliki kompetensi pada bidang yang diajarkannya dan ini membutuhkan pelatihan kompetensi guru sesuai dengan profesi yang diajarkannya
  4. Tekhnik Evaluasi dan Follow Up: guru mengetahui bagaimana tekhnik melakukan evaluasi nilai-sehingga nilai itu semakin lama semakin menjadi sebuah budaya sekolah secara nyata.
  5. Internalisasi nilai Tarakanita: mengembangkan karakter Cc5 Plus (COMPASSION, celebration, competence, conviction, creativity, community), KPKC (keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan), Kejujuran dan Kedisiplinan.

Pemahaman persepsi yang sama ini menjadi bekal yang sangat berharga demi keberlangsungan program Pendidikan Karakter Tarakanita yang akan menjadi salah satu nilai pembelajaran bagi seluruh komunitas karya, civitas sekolah beserta seluruh peserta didiknya.

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment