Article Detail

Menyelisik Kegalauan Batin di Tengah Pandemi COVID 19

Elisabeth Dwihardani, SFK

Guru SMA Tarakanita 2 Jakarta

“Aduh rasanya garing banget”, “seperti ada yang kurang gitu lho” “sepi ah gak meriah”,  “iya ya susah konsentrasinya”, “iya... apalagi  Perayaan Paskah  begini biasanya kan  rame”, “iya... apalagi pulang gereja tuh  biasanya trus  makan makan”, “kenapa sih misanya mesti di rumah ..”,  mereka riuh bersahutan sahutan saling “ngudo roso”. Itulah beberapa celotehan yang aku dengar dari ketiga anakku, yang sedang menginjak remaja beberapa waktu yang lalu, ketika gereja /paroki meminta umat misa dari rumah  dengan live streaming.   Dan saya pun terdiam, dalam hati  meng-iya-kan semua itu. “Bener juga ya, tidak fokus, sepi, tidak enak, tidak biasa, tidak bisa komuni, tidak seperti sedang misa, seperti ada yang kurang...” Berderet kata melintas di benakku.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak  wabah virus corona  merebak di hampir semua negara termasuk di Indonesia,  berita tentang virus ini pun tidak pernah berhenti. Di manca negara diberitakan  korban meninggal karena virus ini mencapai ribuan orang. Dalam  perkembangan  berikutnya  diberitakan  pula bahwa virus ini bukan hanya menyebar, tetapi sudah menjadi pandemi, yang artinya penyebarannya sangat cepat, lintas dearah/negara dan tidak mudah untuk dicegah.

Di Indonesia jumlah pasien yang terpapar virus inipun selalu meningkat dari hari ke hari dan penyebarannya pun sudah meluas di banyak propinsi. Ratusan  orang dinyatakan meninggal. Keadaan ini tentu bukan peristiwa biasa. Membawa perubahan yang sangat besar bagi masyarakat. Pemerintah membuat berbagai kebijakan  untuk mengatasi merebaknya virus ini. Membuat  langkah-langkah penting bagi masyarakat untuk menghambat penularan virus ini.  Wajib  memakai masker, rajin cuci tangan menggunakan  hand sanitizer, jaga jarak dan bahkan memberlakukan  PSBB di daerah tertentu. Pemerintah menghimbau agar  semua warga “stay at home”. Semua aktivitas apapun dilakukan dari rumah. Yang populer dengan istilah “Work From Home”.

Gereja  atau paroki pun menanggapi positif himbauan pemerintah untuk “stay at home”. Untuk peribadatan Gereja mengupayakan dengan menyediakan fasilitas  misa live streaming.  Situasi ini  membawa dampak langsung bagi umat dalam peribadatan . Umat yang biasanya setiap minggu berbondong- bondong hadir ke gereja untuk merayakan misa tidak dapat lagi melakukannya. KKS maupun Doa Rosario bersama di lingkungan atau wilayah juga tidak dapat dilaksanakan. Semuanya “stay at home”. Keadaan tersebut menimbulkan perasaan  galau apalagi  pandemi ini bertepatan pula dengan Perayaan Paskah, yang dalam misa biasanya umat tumpah ruah.  Maka bagiku menjadi sesuatu yang wajar mendengar celotehan seperti yang diungkapkan anak anakku itu.

Mengapa misa melalui live streaming terasa  kering, tidak biasa, tidak mantap, terasa ada yang kurang? Kalau ditelisik salah satunya   adalah  karena selama ini umat mengikuti peribadatan atau misa dengan cara datang langsung ke gereja, mengikuti  tata liturgi lengkap, tatap muka langsung dengan pastor.  Umat sudah terbiasa melakukan ritual keagamaan baku, sehingga ketika ada yang harus berubah, perayaan (ritual) misa di gereja tidak dapat dilaksanakan karena pandemi corona ini maka akan terasa  sedikit aneh,  tidak mudah untuk dimengerti atau dipahami oleh umat biasa.

Nilai apa yang dapat dipetik dari keadaan ini? Kita diajak untuk menyadari  bahwa  hubungan keimanan kita dengan Tuhan dalam peribadatan atau misa yang selama ini  dilakukan  secara ritual, dan  dilaksanakan bersama di gereja,  bisa dimaknai secara baru yakni menjadi kesempatan  untuk menjalin hubungan personal yang lebih intim dengan Tuhan. Maka merayakan Paskah atau misa tanpa ritual baku, bertatap muka langsung dengan pastor dan umat pun merupakan  bentuk pendewasaan iman[1].

Menurut P. Andreas Atawolo OFM, situasi ini juga memberi kesempatan kita untuk mengalami communio spiritual” atau persekutuan spiritual artinya meskipun kita tidak dapat menerima tubuh Kristus secara langsung, misa tetap sah sebab misa bukan semata-mata hubungan material tetapi juga spiritual dan batiniah kita. Iman kepada Yesus sebagai pemersatu kita. Lebih lanjut pastor menjelaskan pula  bahwa  communio spiritual juga terkait dengan ikatan batin dalam keluarga atau komunitas kita. Mengikuti perayaan Ekaristi live streaming bersama anggota  keluarga atau komunitas kecil menjadi sebuah kesempatan untuk merasakan kedekatan, seperti pengalaman jemaat-jemaat awal. Dengan menjadi solid dalam komunitas kecil, kita turut berpartisipasi membangun persekutuan yang lebih luas: solid demi sebuah solidaritas. Maka communio spiritual  mengkondisikan setiap orang dalam satu  keluarga mengalami kedekatan satu sama lain.[2]

Nilai  lain yang juga dapat kita peroleh dengan “stay at home” adalah  kita bisa terhindar dari virus corona,  tetap sehat dan tidak menjadi penyebar virus tersebut, sekaligus menaati himbauan pemerintah. Hal tersebut membuktikan  diri bahwa kita adalah   warga negara yang baik, yang  mengikuti, mendukung dan menaati himbauan  atau anjuran pemerintah. Menunjukkan diri  sebagai warga negara sekaligus  sebagai warga gereja yang  menghayati kutipan “berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar dan berikanlah kepada Allah apa yang menjadi hak Allah (Mat 22:21)”. 

Bagaimana mengisi kegalauan  hati dalam kodisi pandemi seperti ini? Akankah kita mengisinya dengan berbagai macam keluhan dan ketidakpuasan atas situasi ini? Kita bisa belajar dari St. Carolus Borromeus. Ketika wabah pes menyerang atau melanda kota Milan th.1576-1578, beliau menjabat sebagai Uskup Agung Milan. Pada saat itu para pejabat pemerintahan dan orang-orang yang kaya dapat pergi mengungsi mencari tempat/daerah yang aman, tetapi orang orang miskin tidak bisa berbuat banyak. Mereka dtinggalkan oleh orang orang kaya. Dalam situasi itu St. Carolus Borromeus dengan setia menemai orang-orang miskin ini. Mengupayakan banyak cara utuk membantu dan melayani mereka. Memberikan seluruh hartanya untuk orang-orang miskin, berusaha menggalang dana untuk memberi mereka makan. Wabah pes ini  juga membuat umat tidak dapat mengikuti misa karena takut tertular atau menularkan penyakit tersebut. Banyak orang mengurung diri di dalam rumah terutama mereka yang sakit dan diduga terkena pes. Untuk  mengisi kekosongan batin umat,  St. Carolus Borromeus membuat langkah yang berani: ia memerintahkan para imam untuk “menutup” gerejanya dan membuat sebuah altar di luar gereja dan di lapangan kota lalu merayakan misa di sana sehingga umat bisa menyaksikan dan mengikuti misa dari dalam rumah atau melalui jendela rumah mereka masing-masing. Di saat itulah St. Carolus Borromeus mengajak seluruh umatnya untuk “menghadiri Gereja dalam roh”. St. Carolus Borromeus meminta seluruh umatnya untuk tetap bertekun mengikuti misa dan berdoa bersama meskipun dari rumah mereka masing-masing.[3]

Kitapun mempunyai kesempatan untuk mengatasi  kegalauan hati di tengah pandemi ini sebagaimana diteladankan  St. Carolus Borromeus. “Stay at home” memberikan  waktu lebih banyak  untuk berkumpul bersama keluarga, mengisi waktu luang bersama. Dari sisi rohani, kita mempunyai waktu lebih banyak untuk  berdoa bersama keluarga, berdoa rosario, membaca kitab suci, sharing pengalaman atau ngobrol bersama dalam kegembiraan atau sukacita. Mengikuti misa dari rumah bersama keluarga dengan live streaming seperti yang dilakukan  St. Carolus Borromeus ketika mengadakan misa di lapangan agar umat dapat mengikuti  misa dari jendela rumah masing masing. 

Di sisi lain ketika biasanya dalam keseharian, kita hanya berpapasan karena kesibukan masing-masing, maka di saat ini mempunyai waktu untuk mempererat persatuan keluarga.  Memasak bersama, mengerjakan tugas rumah bersama bisa menjadi alternatif.

Kita dapat pula  belajar dari Bunda Maria. Bunda Maria percaya kepada sabda Tuhan, dia begitu peka terhadap sabda Allah dan ia percaya apa yang disabdakan Tuhan, walaupun tampaknya sulit. Bahkan sepanjang  hidupnya Bunda Maria tidak pernah terbebas dari kesusahan. Rentetan  penderitaan yang dialami sejak menyatakan bersedia mengandung Yesus (Lukas1:26-33), melahirkan di kandang, mengungsi ke Mesir (Matius 2:13-15), kehilangan Yesus di Bait Allah saat usia Yesus 12 tahun (Lukas 2:41-52), bahkan sampai pada puncaknya menyaksikan putra-Nya wafat di kayu salib. Bunda Maria tetap setia. Ia bersama murid-murid Yesus ”berkanjang dalam doa”(Kisah 1:14)[4].  Tetapi Bunda Maria tetap bertekun dan percaya kepada Tuhan dalam segala situasi hidupnya. Keteladanan  Bunda Maria yang sepenuhnya percaya akan sabda Allah , teguh dengan menghadapi segala macam penderitaan dan bertekun dalam doa bisa menjadi teladan dan kekuatan kita.

 

Semoga. (edh)


[1] Fr. M. Yohanes Berchmans, BHK, “Perayaan Paskah sepi tanpa umat di tengah Badai Covid-1”, https://beritamedia.id/2020/04/perayaan-paskah-sepi-tanpa-umat-di-tengah-badai-covid-19 (09 Apr 2020)

[2] Pastor Andreas Atawolo OFM, “Ekaristi Online Sah & Bermakna”, https://andreatawolo.id/2020/03/ekaristi-online-banyak-maknanya (21 Maret 2020)

[4] Rm. Yohanes Indrakusuma, CSE “Mengikuti Teladan Bunda Maria”, https://www.carmelia.net/index.php/artikel/tulisan-rm-yohanes-indrakusuma/198-mengikuti-teladan-bunda-maria(30 Jun 2009)

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment