Article Detail

Wajah psike Manusia

Historisitas merangkum sebagian besar pengalaman kesadaran dan ketidaksadaran pribadi manusia di tengah-tengah masyarakat. Dalam kacamata psikodinamika, kesadaran akan sejarah menjadi inspirasi untuk melihat dan memetakan sedapat mungkin khazanah psike (jiwa) yang terangkum dalam pola-pola pikiran, perasaan, niat, sikap, dan prilaku yang mendarah daging. Pada berbagai kesempatan, dan karena berbagai sebab, manifestasi jiwa manusia melenceng dari pola-pola itu. Justru darinya, pembuktian menjadi empiris bahwa pola-pola semacam itu memang ada dan memberikan pengaruh yang sangat nyata pada kehidupan yang penuh dengan carut-marut.

Coba lihat, di antara gedung-gedung megah nan mewah, terhampar luas perumahan-perumahan yang sangat kumuh dan lusuh. Di hamparan yang sama, tertawa dan bersenda gurau sekian banyak kaum yang berlimpah ruah kelezatan materi, sementara di sekitarnya terdapat lebih banyak insan-insan terlempar di pojok ruang kemiskinan dan kekurangan. Berdiri di antaranya orang-orang dengan wibawa sebagai bukti kemakmuran fisik, sekaligus terkapar pribadi-pribadi tanpa harga lengkap dengan penderitaan dan penyakit yang mematikan. Martabat kemanusiaan terbagi dua di antara nyonya-nyonya dan para wanita renta yang berdiri di pinggir jalan menengadah, atau si belia yang rela menjual tubuhnya hanya karena tidak punya apa-apa. Inilah realitas yang mempresentasikan kekenesan hidup manusia dan masyarakatnya, yang menderita karena penuh luka namun ingin tampil dengan kesemarakan materi duniawi.

Bisa jadi permukaan psike kebanyakan manusia layaknya tampilan masyarakat kita. Hadir dimana-mana, dengan pikiran, perasaan, dan sikap yang berubah-ubah seiring tuntutan dunia ramai, namun jarang sekali memberi ruang dan waktu pada hakikat terdalam hati. Manusia begitu suka pada schema, tampilan, bentuk luar dan cenderung enggan mendengarkan suara nuraninya. Pengaturan dan penyesuaian diri yang sangat oportunistik, layaknya para pejabat atau para pesohor negeri gosip, yang bisa lebih dari sepuluh kali gonta-ganti baju, bukan karena baju mereka ternoda bumbu rendang masakan Padang, tetapi lebih karena tuntutan penampilan. Belum lagi ketika banyak para wanita gemuk mengklaim kegemukannya sebagai sebuah kejelekan, yang dengan sangat rajin mengkonsumsi obat antiobesitas, padahal sistem kerjanya tidak sejalan dengan hukum alam yang sebenarnya sudah diatur Sang Pencipta. Bahkan pula dijumpai, di sana dan di sini, begitu banyak orang menjadi tidak yakin dengan penampilan diri sendiri, lalu getol mendandani dan mengintervensi penampilan tubuh, namun tidak pernah sampai pada kedamaian perasaan yang ditandai dengan menerima diri sebagaimana mestinya. Mereka mengalami dysmorphophobia (gangguan citra tubuh).

Hidup yang seperti itu terangkum dalam dua kata: oportunisme dan kemunafikan, yang keduanya bermuara pada egosentrisme yang antisosial. Itulah wajah psike manusia, yang lebih banyak mengutamakan kepentingan dan keperluan sendiri, kendati semua itu harus melanggar nurani. Bisa jadi pada titik ini, kesalahan dan ketidakwajaran menjadi sangat biasa, ringan dan enteng, seolah tanpa beban. Kaidah hukum yang sejatinya dijabarkan dari kaidah moral sejati, dinobatkan menjadi hukum beku yang membelenggu, yang diabdikan pada kepentingan orang, kelompok, dan golongan tertentu. Di situlah kemudian muncul berbagai previlese hak istimewa, superioritas artificial untuk satu-dua orang yang mengatasnamakan kepentingan rakyat. Arogansi kian hingar-bingar seiring legitimasi pembangunan dinasti kekuasaan yang lagi-lagi lupa pada cita-cita, mengabdi pada keadilan.

Entah sadar atau tidak, kebanyakan kita terobsesi oleh kecenderungan megalomania 'the superiors', keinginan menjadi diri sendiri tetapi tidak peka terhadap aspirasi pribadi lain, yang angkuh, sombong, arogan, dan cenderung membudayakan kekerasan-bahkan ekstremnya, pembunuhan-terhadap diri yang lain. Cita-cita dan kebanggaan megalomanik menempatkan diri pada posisi tertinggi, di awang-awang tanpa batas, tapi mengerikan ketika jatuh, terkapar dan mematikan. Pada fase inilah, muncul ke permukaan kesadaran akan kerendahan hati sebagai medan pemuliaan diri yang sejati. 'Barang siapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan'. Berhentilah sejenak dari eksplorasi permukaan, masuklah ke kedalaman hati dan jelajahi suara psike (jiwa), di sana dan dari sana, peninggian dan pemuliaan diri lahir dari kesetiaan akan cinta, kebenaran dan kebaikan... (disarikan dari 'Kalkuta Psike Manusia' - Limas Sutanto)

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment