Article Detail

Belajar Ekologi dari Kearifan Lokal

Seiring dengan perkembangan zaman, persoalan alam pun menjadi semakin kompleks. Disadari atau tidak, kerusakan demi kerusakan yang menimpa hampir sebagian besar belahan bumi kita erat kaitannya dengan kemampuan manusia menemukan dan menggunakan teknologi modern, di samping juga karena perubahan pola pikir manusia. Cara pandang ekonomis menempatkan alam layaknya modal uang yang patut dieksploitasi demi mendatangkan keuntungan. Berbagai teknik dan cara ditempuh manusia untuk sekedar mengeruk semakin banyak manfaat bumi, semata-mata karena beraset ekonomi.

Untuk pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan manusia, usaha memanfaatkan alam memang dapat dibenarkan. Muncul persoalan ketika pemanfaatan itu semata berorientasi ekonomis, menggeser keberadaan alam sebagai komunitas menjadi komoditas. Perlahan tapi pasti, terjadi de-sakralisasi alam yang mendorong maraknya manipulasi dan eksploitasi terhadap alam. Kesadaran bahwa alam memiliki modal sosial(1)  semakin luntur akibat pemikiran yang melulu ekonomis itu. Paradigma inilah yang disinyalir mempengaruhi pola pikir sebagian besar masyarakat modern akhir-akhir ini.

Jika kita sempatkan menengok keberadaan masyarakat primitif(2)  zaman dulu, betapa mereka menghayati dan menghidupi kebersamaan dan ketergantungan mereka dengan alam. Bagi mereka bahasa ekologi tidak hanya sekedar berbicara mengenai tanah, pohon, dan air, tetapi berbicara dalam konteks masalah kehidupan secara keseluruhan. Alam adalah hidup mereka, medan perjumpaan dan relasi yang akrab baik dengan Tuhan, sesama, dan dengan alam itu sendiri. Hidup bagi mereka adalah kristalisasi dari nilai keharmonisan ketiganya.

Letak Kearifan

Cara pandang masyarakat terhadap keberadaan alam secara umum dapat dibedakan dalam tiga fase(3) , pertama alam pikiran mitis di mana berkembang keyakinan bahwa manusia dan alam merupakan satu kesatuan, kedua alam pikiran ontologis, saat manusia mulai menyadari dirinya sebagai subyek yang mampu mengambil jarak dengan alam, ketiga alam pikiran fungsional di mana relasi dimaknai oleh fungsi dan kegunaan. Apa yang disebut sebagai kearifan lokal merupakan endapan nilai dan norma dari alam pikiran mitis, di mana tersembunyi pandangan-pandangan hidup (filosofi) yang tersirat dalam mitologi.

Bagi masyarakat asli, mitos merupakan unsur pokok yang memberikan pedoman dan arah bagi kehidupan mereka. Mitos diterima sebagai pemberi informasi tentang kekuatan gaib yang melingkupi dan mempengaruhi hidup manusia sehingga manusia menghayati kehidupannya dalam lingkup sakral dan profan. Di sinilah manusia selalu memberi tempat pada pemaknaan kekuatan alam. Mitos juga memberikan jaminan bagi masa kini, membangkitkan harapan dan pemahaman bahwa apa yang terjadi dahulu akan terjadi kembali di masa sekarang (anamnese). Selain itu, melalui mitos masyarakat juga mengetahui tentang bagaimana dunia ini tercipta (kosmogoni).

Dalam konteks ini, kesadaran diri manusia sebagai pribadi yang otonom belum muncul. Satu-satunya pemahaman yang berkembang adalah bahwa dalam kehidupan manusia sepenuhnya dilingkupi/diliputi oleh kekuatan-kekuatan alam dan daya-daya magis dari luar dirinya. Relasi dengan alam dan daya magis itu diyakini sebagai dasar eksistensi manusia, karenanya manusia selalu berusaha untuk memaknai relasi itu melalui berbagai bentuk ritual/liturgi, karya seni, dan juga mitologi/dongeng.

Manusia dan alam melebur dalam kesatuan yang saling meresapi, sebuah kesadaran penting bahwa kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari alam. Alam semesta dilihat sebagai sumber kehidupan manusia; hutan, air/sungai, tanah, bahkan langit dan cakrawala merupakan tanda nyata kemurahan alam yang disediakan bagi manusia. Itulah sebabnya, bumi dan langit sering diibaratkan sebagai Ibu dan Bapa pemberi hidup, sehingga amatlah dihargai dan dihormati.

Bijak bersama Alam

Cara pandang dan prilaku masyarakat primitif terhadap alam menyadarkan kita betapa kesatuan manusia dan alam begitu kuat dan eratnya. Manusia menjadi bagian integral dari alam, bukan subyek yang otonom dan “di atas” alam. Relasi yang dekat itu juga tampak dalam pendasaran moralitas hidup dari kekuatan-kekuatan alam transendental yang melahirkan etika naturalistik di mana prilaku manusia direfleksikan berasal dan tertuju pada alam. Nilai-nilai inilah yang menjadi bingkai dari mitologi dan terintegrasi dalam relasi sebagai mikro-kosmos dan makro-kosmos.

Kesadaran akan ketergantungan dengan alam ini membawa konsekuensi dan tanggungjawab tak terbantah untuk menjaga keutuhan kesatuan tersebut. Bukan karena alam bermanfaat bagi hidup manusia saja, tetapi juga menyangkut penyadaran kekuatan-kekuatan Ilahi yang hadir dan tampak dalam kenyataan alam itu. Alam dan seluruh isinya adalah suci dan sakral, maka rasa hormat dan usaha untuk menjaga dan memelihara menjadi sebuah norma yang tidak bisa ditawar.

Kebaikan dan kebenaran hidup manusia diukur dari terjaminnya relasi dan harmoni yang terjalin antara alam dan manusia, serta kesetiaan dan ketaatan untuk menghormati dan menepati pelbagai norma sakral dalam masyarakat. Inilah kesatuan dan keutuhan kehidupan yang dihayati bersama antara manusia dan alam. Merusak alam berarti merusak manusia itu sendiri, dan kehancuran alam pasti berakibat pada hancurnya kehidupan manusia juga.

Bijak bersama alam kiranya menjadi suatu spiritualitas ekologis, bukan hanya bagi mereka yang menamakan diri masyarakat asli, tetapi terlebih bagi masyarakat kini yang perlahan tetapi pasti berada di tepi jurang kehancuran dirinya sendiri. Kerinduan untuk mengalami kedekatan, kesatuan, dan kegembiraan bersama alam kiranya menjadi kerinduan kita bersama, saat di mana kita membutuhkan suatu perubahan gaya hidup dan mentalitas yang komoditif, menjadi semangat hidup yang arif. (Amb. Sigit Kristiantoro)

(1) Modal Sosial: keseluruhan norma, jaringan dan relasi social dan institusional yang kondusif bagi pengembangan tingkah laku kooperatif yang sudah hidup dan ada dalam masyarakat berdasarkan prinsip solidaritas, bdk. Agustinus Mintara, BASIS No.1-2 Thn. Ke-52, Januari-Februari 2003, p.44-49.
(2) “primitif” bukan dalam arti konotasi, (tertinggal), tetapi menunjuk pada pengertian masyarakat asli.
(3) Bdk. Prof. Dr. C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1976, p.34-117.

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment