Article Detail
PKT: MENU UTAMA DI ASRAMA CARLO
Bagi komunitas asrama, pendidikan
karakter tidak bisa hanya diletakkan sebagai menu tambahan. Pendidikan karakter
harus menjadi menu utamanya. Ini bukan karena konsekuensi siswa tinggal di
lingkungan lembaga pendidikan, tetapi karena pendidikan karakter sudah menjadi
kebutuhan utama bagi komunitas asrama, agar suasana kehidupan di asrama menjadi
nyaman dan kondusif untuk belajar.
Asrama Carlo, khusus putra, mulai
dibuka pada tanggal 9 Juli 2019 dengan menerima 14 siswa kelas X dari berbagai
daerah seiring dengan dibukanya SMA Stella Duce 2 Yogyakarta untuk siswa putra.
Pada tahun berikutnya Asrama Carlo menerima 17 siswa. Tetapi karena pandemi
Covid-19 hanya ada 12 siswa dari 2 angkatan yang tinggal di asrama. Salah Satu penyebabnya
adalah faktor keterbatasan fasilitas belajar bila siswa harus melaksanakan
Pembelajaran Jarak Jauh dari rumah masing-masing. Siswa lain tetap tinggal di
rumah bersama pendidik yang utama, yakni orangtua. Tidak setiap siswa SMA
Stella Duce 2 wajib tinggal di asrama. Hanya mereka yang sungguh memerlukan dan
berminat yang akan tinggal di asrama. Oleh karenanya motivasi mereka untuk
tinggal di asrama menjadi pijakan utama bagi pamong untuk menerapkan pendidikan
karakter di asrama.
Asrama Carlo sebagai bagian
terintegrasi dengan SMA Stella Duce 2 Yogyakarta berupaya menerapkan Pendidikan
Karakter Tarakanita (PKT) bagi para siswa yang tinggal di asrama. Nilai-nilai
PKT ditanamkan melalui berbagai cara : penjelasan lisan, penetapan kebiasaan
cara hidup, studi literasi, refleksi, pengajaran dari guru, serta pendampingan
pribadi.
Mencium Aroma Gas Air Mata
Sore hari tanggal 10 Oktober 2020
saat terjadi unjuk rasa penolakan Omnibus Law, saya mendengar beberapa siswa
sedang asyik memperbincangkan masalah UU Cipta Kerja di selasar ruang makan.
Terdengar di antara mereka memperdebatkan hoax tentang isu tersebut. Kebetulan
sekali di saat yang sama saya mendapatkan PDF draft regulasi tersebut dari
seorang teman. Maka saya segera menghampiri para siswa, “Ini di group WA saya
kirimkan PDF undang-undangnya. Tolong kalian buka dan coba baca. Nanti jam
makan malam kita bahas bersama.”, demikian perintah saya pada para siswa. Saat jam makan
malam, mulailah saya bercerita sembari mereka makan. Tidak mudah bagi mereka untuk
membaca teks perundang-undangan. Karenanya saya menekankan pada mereka agar
serius belajar PPKn dan Bahasa Indonesia. Pelajaran di SMA sungguh ada gunanya
untuk kehidupan konkret ketika dewasa.
Karena ada siswa yang
mempertanyakan sistem pengupahan, maka
saya pun menerangkan besaran UMR di Jogjakarta, sembari mengajak mereka semua
berhitung uang saku dan besarnya nominal jajan mereka. Ada yang sampai
menyadari bahwa pengeluaran jajan mereka sudah melebihi UMR di Jogja. Proses
imajinasi ini ternyata membuat sebagian siswa mengurangi kebiasaan mereka untuk
jajan berlebihan.
Ada juga siswa yang ingin ikut
unjuk rasa setelah melihat foto dan video di Instagram yang menunjukkan suasana
yang baginya cukup menantang. Terlebih setelah ia tahu bahwa di Jakarta para
siswa tingkat SMA ikut terlibat unjuk rasa. Setelah doa malam, saya mengajak
beberapa anak untuk jalan kaki ke Malioboro, lengkap dengan bekal masker dan
kacamata. Jalanan sudah sepi, meskipun ada sebagian masyarakat yang masih
membersihkan sekitar kantor DPRD. Tujuan
saya hanya satu, menjawab keingintahuan anak tentang suasana lokasi unjukrasa,
meskipun hanya selintas saja. Aroma gas air mata ternyata masih terasa sedikit
pedih meskipun area sudah disemprot oleh petugas kebersihan. Maka kami harus
mempercepat laju langkah kaki kembali ke asrama. Pengalaman berjalan kaki 30
menit kiranya cukup membekas bagi siswa ini. Sepanjang perjalanan kembali ke asrama,
saya mengajak siswa mengolah pengalaman visual dan penciuman. Ia sampai pada
sikap untuk tidak ikut unjuk rasa anarkis setelah tahu betapa tidak enaknya
aroma gas air mata.
Dari persoalan unjuk rasa Omnibus
Law, ternyata siswa di asrama dapat diajak mengolah nilai Competence untuk
memahami undang-undang, Compassion untuk memahami keadaan para buruh pabrik,
serta semangat ugahari dalam mengelola uang saku. Sikap juga dapat terbentuk setelah siswa mendapat
pengalaman konkret mengunjungi bekas lokasi unjuk rasa.
Satu rangkaian peristiwa tersebut
menunjukkan bahwa proses pengolahan nilai Cc5+ di asrama dilakukan secara
simultan dengan studi literasi, penjelasan lisan, analisis, evaluasi, refleksi,
hingga pembentukan kebiasaan baru. Bila proses ini belum cukup, maka
pendampingan pribadi dapat dilakukan untuk menolong para siswa sampai pada
pemahaman tentang Cc5+.
Pada rangkaian proses pengolahan
tersebut, studi literasi dan analisis perlu dilakukan, sejalan dengan
perkembangan psikologis remaja laki-laki yang sedang gemar mengolah aspek
penalaran. Keingintahuan para siswa tidak cukup hanya dijawab melalui jawaban normatif
saja. Tidak bisa pula diselesaikan dengan jawaban ya-tidak, benar-salah, atau
boleh–dilarang. Seringkali karakter baru dapat dimunculkan setelah mereka
dibenturkan dengan realitas dan pertimbangan penalaran.
Pendidikan Tanpa Topeng
Penanaman Cc5+ kepada para siswa
bukan hal mudah. Mereka datang ke asrama tidak dengan kondisi layaknya kertas
kosong. Mereka tentu membawa modal budaya, nilai dan karakter dari
masing-masing keluarga. Tetapi ketika di asrama, pribadi mereka harus diselaraskan
dengan Cc5+. Ketika di sekolah mereka masih dapat mengenakan ‘topeng’ dengan
menerapkan Cc5+ di sekolah lalu menanggalkannya ketika di rumah. Tetapi ketika
di asrama, mau tidak mau mereka harus menghidupi nilai-nilai tersebut selama 24
jam penuh. Mereka tidak dapat berpura-pura menjadi orang baik.
Ada yang cepat
menginternalisasikan nilai tersebut, ada yang perlu proses dialektika, ada pula
yang menunjukkan penolakan. Bisa jadi penolakan justru datang dari keluarga,
karena ada perbedaan budaya antara di rumah dan di asrama. Kehidupan di asrama
mengatur agar semua makan bersama-sama di jam dan tempat yang sama secara
konsisten. Tidak boleh ada gawai, buku bacaan, atau alat musik yang dipakai
selama jam makan. Bagi sebagian siswa, cara ini bertolak belakang dengan
kebiasaan di rumah. Mereka dapat makan kapanpun dan di ruang manapun, tanpa
harus menunggu makan bersama bapak dan ibu. Mereka bisa makan sembari menonton
televisi atau memainkan gawai. Tetapi
ketika di asrama, mereka harus mau berdisiplin diri dalam makan, untuk
menghargai suasana makan bersama.
Pada akhirnya para siswa dapat
memandang Cc5+ sebagai bagian dari keseharian, bagian dari kebutuhan hidup.
Nilai-nilai tersebut dapat dihidupi tanpa harus ada pengawasan dari pamong,
tanpa siswa harus mempertimbangkan aturan asrama. Hingga suatu hari di awal
masa pandemi seorang siswa melayangkan protes pada pamong karena layanan
catering makan harian yang terlalu banyak menggunakan plastik pembungkus,
meskipun tujuannya untuk menjaga kebersihan makanan.
“Pak, kayak begini ini nggak sesuai dengan KPKC lho.”
St. Benny Pudyastanto, M.Psi., Psikolog
Pamong Asrama Putra Carlo
SMA Stella Duce 2 Yogyakarta
-
dion18 Nov 2020 08:11:24Luar biasa.. pendidikan karakter ditanamkan melalui pengalaman nyata.. salut..