Article Detail

Menemukan Kasih di Negeri Sakura (1)

Malam itu, waktu sudah menunjukkan pukul 23.15 WIB. Dengan pikiran yang terus mendesain ulang urutan agenda tugas belajar yang diembankan oleh Yayasan Tarakanita kepada saya, sebuah yayasan pendidikan yang selama ini memberikan kesempatan luas bagi saya untuk mendedikasikan hidup saya sebagai pendidik yang terus berkembang, saya memantapkan langkah. Masuk ke dalam pesawat yang akan segera menerbangkan saya menuju negeri yang belum pernah saya singgahi sebelumnya. Menembus langit malam pada ketinggian ribuan meter di atas permukaan tanah hingga tidak nampak lagi cahaya lampu yang menerangi tanah air, menempuh perjalanan udara saat langit gelap hingga waktunya senyum sang mentari tampak tertoreh di ufuk timur. Tiba di darat, pagi itu, hawa dingin bandara Kansai menyeruak menembus ke dalam jaket, menguji ketangguhan diri penduduk negara tropis dalam suhu 11 derajat Celcius, seolah mengucapkan selamat datang di Negeri Sakura yang menawarkan pesona musim gugurnya.

Seorang Bapak yang berpakaian formal dengan senyum ramah datang menyambut dan membimbing saya beserta rombongan menuju minibus. Dengan nada suara yang berwibawa sekaligus akrab, Bapak tersebut yang akhirnya kami kenal dengan nama Nishizaki Sensei adalah seorang guru yang diutus secara khusus untuk menggardai kehadiran kami. Beliau membeberkan program demi program yang akan kami jalani selama lima hari ke depan secara detail dengan penuh semangat. Kesan pertama yang luar biasa, saya sepakat dengan berita yang sebelumnya saya dengar bahwa Nihon Jin (warga negara Jepang) terbiasa bekerja dengan manajemen yang sangat rapi.

Sesampainya di kota tujuan kami, Himeji, kota cantik yang terdapat di wilayah barat daya prefektur Hyogo di Pulau Honshu, mata kami dipuaskan oleh pemandangan kastil berwarna putih warisan budaya yang sangat megah berdiri di pusat kota Himeji.

Tampak jelas bagi kami, Himeji Castle begitu anggun, dikelilingi oleh taman Sakura dengan daunnya yang mulai berubah warna dan bergradasi kuning bersaput merah yang indah, dihuni oleh kawanan burung gagak dan burung merpati yang mudah diajak berkawan.

Sambil berdecak kagum, kami menapaki setiap sudut kastil Himeji hingga lantai ke tujuh. Merasakan kenikmatan visual sebuah bangunan istana yang menawarkan panorama tata letak dan seni arsitektur megah, disertai aroma dupa wangi dan kayu yang khas, seketika tumpukan rasa lelah setelah menempuh lamanya perjalanan udara dan darat yang panjang, terbayar lunas.

Hari berganti, tibalah saatnya saya berkenalan dengan sekolah tempat saya bertugas belajar hingga 1 bulan ke depan. Sebuah sekolah yang telah mendidik siswi-siswinya hingga pemimpin generasi ketiga pada saat ini. Harima High School, Japan merupakan sekolah khusus wanita yang telah menjalin kerjasama harmonis dengan yayasan Tarakanita. Wajah-wajah baru khas guru Jepang yang mayoritas berusia 40 tahun ke atas datang menyambut kami dengan senyum dan salam hangat disertai pose bungkuk sebagai tanda hormat kepada kami. Secara spontan, saya menyambutnya dengan salam kenal serta bungkukan badan yang sama. Pikiran saya yang semula dikuasai rasa kuatir akan menghadapi pribadi-pribadi kaku yang arogan berputar arah menjadi rasa tenang dan tersanjung.

Dengan tangan terbuka, beberapa Sensei (guru) menghantar kami menuju ruang-ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, ruang olah raga dan ruang-ruang pendukung yang lain di tiga gedung bertingkat yang dimiliki sekolah tersebut. Berkenalan dengan siswi-siswi yang sedang belajar di kelas. Meskipun malu-malu, mereka membalas perkenalan kami dengan ramah. Canda tawa dan keceriaan mereka mengingatkan saya kepada siswa-siswi yang saya tinggalkan di Indonesia.

Di sekolah Harima, saya berjumpa dengan dua siswi Stella Duce Yogyakarta yang sedang menimba ilmu disini, telah berjalan enam bulan lamanya mereka hidup di Jepang ketika saya datang. Michelle dan Vero namanya, dua siswi yang ceria dan cerdas. Sungguh bahagia saat berjumpa dengan mereka berdua, puji syukur kepada Tuhan, saya berkesempatan untuk mendampingi mereka selama saya bertugas disana.

Turut menemani Vero dan Michelle dalam menghadapi persiapan akhir ujian kemampuan berbahasa Jepang (N3 level – Japanese Language Proficiency Test) di kota Kobe dan tinggal serumah bersama mereka berdua beserta dua guru Polandia yang juga merupakan rekanan Harima High School selama satu bulan, memberikan pengalaman persaudaraan yang erat dan berwawasan luas.

Hari demi hari, saya jalani dengan sukacita, menggali ilmu di setiap sesi belajar yang saya ikuti. Belajar dari para Sensei yang dengan totalitas memberikan ilmunya kepada murid-muridnya. Persiapan matang para guru di awal hari, dimulai dengan briefing penuh makna yang dipimpin oleh Kepala Sekolah. Sikap hormat semua guru kepada Bapak Suruga selaku Kepala Sekolah ditunjukkan dengan sungguh-sungguh melalui sikap berdiri tegak dan mencatat setiap pesan dan masukan dari Bapak Kepala Sekolah melalui wakil-wakilnya.

Usaha memberikan perhatian yang luar biasa diberikan oleh sekolah bagi seluruh siswi. Bukan memanjakan, namun mendidik siswi menjadi wanita muda cerdas, elegan dan mampu menunjukkan tanggungjawabnya dalam keluarga dan masyarakat.

Saya turut belajar dalam beberapa kelas bersama siswi Harima, di kelas bahasa Jepang yang diasuh oleh Ueda Sensei, kelas Culture oleh Watanabe Sensei yang mengajarkan kepada siswa mengenai budaya bertingkah laku sopan, kelas Calligraphy yang mengajak saya belajar menulis kanji, katakana dan hiragana yang diampu oleh Yoshida Sensei dan beberapa kelas yang secara khas dimiliki sekolah Jepang, misalnya kelas Japanese Expression dan kelas Yukata.

Selain kelas-kelas di atas, saya belajar di dalam kelas Society and Information, World History, Mathematics, Physics, terlibat dalam pembimbingan praktikum Kimia yang diasuh oleh Andachi Sensei, salah seorang guru senior di sekolah Harima serta berkesempatan untuk mengajar dalam kelas Tsebutsu (Biologi) dan kelas Bahasa Inggris beberapa kali.

Merasakan keseruan kegiatan bersih-bersih sekolah (souji-shimasu) saat sepulang sekolah dan mengikuti berbagai aktivitas klub siswa seperti sepakbola, bola voli, basket, kendo, ikebana (seni merangkai bunga), seni kerajinan keramik, memasak dan kelas bridal.

Membawa misi belajar sekaligus menjadi perwakilan bangsa Indonesia di negeri Sakura, memberi peluang kepada saya untuk memperkenalkan budaya, kesenian, makanan khas bahkan destinasi pariwisata Indonesia kepada civitas akademika sekolah Harima baik saat pelajaran di dalam kelas maupun dalam pembicaraan santai di saat senggang.

Tukar menukar informasi menarik antar dua negeri menjadi perekat relasi saya dengan rekan guru dan siswa sekolah Harima. Tak terbatas pada pembicaraan, tukar-menukar cinderamata bahkan makanan khas menjadi puncak keseruan, semakin menambah akrab pertemanan di antara kami.

Senyum dan salam senantiasa diucapkan satu sama lain, tentu saja dengan bungkukan atau anggukan yang menyertainya. Pagi, siang, malam, selalu saling menyapa. Datang ke ruang guru maupun pergi, salam tidak pernah lepas untuk diucapkan. Di depan sekolah, sepanjang selasar, di kelas bahkan di jalanan luar sekolah.

Ohayo gozaimasu … selamat pagi. Konniciwa … halo. Sayonara … sampai jumpa

Tidak bosan bersapa satu sama lain, menjadi energi tambahan bagi setiap pribadi yang dengan sukacita melakukannya.

Ada semangat luar biasa yang saya rasakan, semangat yang dimiliki setiap warga sekolah Harima. Tak memandang usia, pekerjaan dan jenis kelamin. Semua komponen sekolah bekerja dengan totalitas, penuh perencanaan dan pantang menyerah. Usia guru yang berkisar antara 23 tahun hingga lebih dari 70 tahun, tidak menjadi penyebab perbedaan dalam semangat kerja. Meski banyak guru yang berusia sepuh, beliau mengajar dengan penuh dedikasi dan senantiasa berusaha memberikan yang terbaik bagi seluruh siswa.

Bekerja sepenuh hati dan semangat tinggi juga dimiliki oleh staf pendukung pendidikan misalnya petugas tata usaha yang bekerja dengan cekatan, petugas kebun dan petugas kantin sekolah. Jam kerja mulai pukul 08.00 hingga pukul 17.00 waktu setempat dan seringkali berlanjut hingga pukul 20.00 diisi dengan kegiatan persiapan mengajar, koreksi pekerjaan siswa, rapat bahkan pendampingan ekstra bagi siswa yang memerlukan. Semua pekerjaan dilakukan dengan focus dan penuh semangat hingga langit di luar sekolah berubah menjadi gelap.

Di tengah kesibukan sehari-hari dalam menjalankan tugas observasi, mengajar dan pendampingan siswa, saya sering dikejutkan dengan perhatian dan kebaikan para guru dan siswi sekolah Harima.

Tampak jelas saya rasakan, perhatian nyata saat saya berusaha beradaptasi dengan suhu yang semakin dingin, saya ingat saat itu suhu turun hingga 4 derajat Celsius, Ishimoto Sensei seorang guru senior pengajar pelajaran tata krama tiba-tiba datang menemui saya di meja kerja untuk memberikan kepada saya sekantung kairo (karbon penghangat tangan) setelah beliau memperhatikan saya yang cukup kedinginan saat itu. Ibu Hayasi juga meminjamkan syalnya kepada saya saat kami berjalan bersama-sama di malam hari melalui jalan-jalan Himeji yang dingin sekali.

Selain hal-hal baik itu, tidak sedikit camilan coklat dan manisan pemberian rekan-rekan guru Harima yang mendarat di meja kerja saya sebagai wujud perhatian mereka.  Kebaikan-kebaikan inilah yang membuat saya nyaman dan merasa diterima sebagai bagian dari sekolah Harima.

Seringkali, saya ditanya oleh rekan-rekan guru Harima, kemana saya ingin pergi untuk berjalan-jalan di Jepang. Terkejut saya, sampai sedalam ini mereka menanyakan kepada saya. Saya tidak menduga di tengah kesibukan yang luar biasa, mereka masih sempat menanyakan hal itu kepada saya. Saya sering bertanya di dalam hati, bukankah saya hadir di sekolah ini untuk bekerja dan membantu, tidak terpikirkan oleh saya untuk pergi dan berwisata di Jepang. Alih-alih menjawab pertanyaan mereka dengan serius, saya justru menanggapinya dengan canda dan tawa.

                Rupanya tanpa saya sadari, beberapa guru Harima telah membuat rencana untuk saya baik atas nama sekolah maupun inisiatif pribadi. Tidak saya sangka sebelumnya, hampir setiap akhir pekan, mereka mengajak saya berkunjung ke tempat-tempat bersejarah dan museum di sekitar prefektur Hyogo. Entah dari mana sumbernya, mereka dapat mengetahui bahwa saya sangat ingin pergi ke museum. Bagi saya, museum merupakan sumber pengetahuan mendasar untuk mengenal budaya dan kemajuan yang telah dicapai negara Jepang. (Esli Yunita Sari, S.Si. Guru SMA Tarakanita Gading Serpong)

 


Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment