Article Detail

HOME LEARNING SEBAGAI TEROBOSAN SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN KUALITAS LAYANAN

Oleh: Junandar Usman

                                                                                                                    Guru Kimia SMA Stella Duce 1 Yogyakarta

Semakin merebaknya covid-19 telah membuat banyak gedung sekolah di Indonesia ditinggalkan oleh siswanya. Banyak orang tua yang tidak rela, jika anaknya berlama-lama di sekolah. Sebagaimana kita ketahui bahwa sumber utama penyebaran covid-19 adalah tempat berkumpulnya banyak manusia, termasuk sekolah, tempat ibadah, dan fasilitas umum lainnya. Banyak sekolah yang telah menyikapi dampak ini dengan banting setir membuat proses pembelajaran dilakukan di rumah melalui media on-line. Siswa diliburkan dari sekolah formal tetapi dituntut untuk belajar mandiri di rumah masing-masing (home learning). Bahkan, sebagian sekolah juga merumahkan guru-guru dengan mengambil model shift untuk guru yang berangkat ke sekolah. Meskipun di rumah, para guru terus dituntut memberikan pembelajaran dan tugas-tugas melalui media on-line dan juga memantau proses belajar siswanya secara on-line.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah semua sekolah mampu menyelenggarakan home learning dalam waktu singkat ini? Apakah sarana dan prasarana sekolah telah siap dan memadai untuk melakukan home learning? Apakah setiap guru telah mempunyai bekal IT yang cukup untuk menyelenggarakan pembelajaran on-line? Yang tidak kalah pentingnya adalah apakah para siswa telah terbiasa belajar mandiri dengan sedikit bimbingan dari gurunya? Itulah tantangan dunia pendidikan di Indonesia pasca merebaknya covid-19. Insan pendidikan harus siap dalam menghadapi segala sesuatu yang terjadi tanpa mengorbankan proses belajar siswa. Peran orang tua sebagai guru utama dan guru sebagai orang tua kedua sungguh tampak nyata sebagai dampak covid-19. Orang tua tidak dapat mengelak lagi untuk menjadi garda terdepan dalam memastikan proses belajar bagi anaknya sendiri. Bahkan banyak orang tua saat ini menjadi “manajer pendamping dalam belajar”. Merekalah yang menyiapkan PC, laptop, smartphone, CD pembelajaran, dan database on-line untuk meningkatkan efektivitas home learning.

Sekolah yang telah mempunyai pusat pembelajaran elektronik (e-learning) tentu akan mengibarkan bendera dan langsung memulai pembelajaran model baru ini. Sekolah dengan sarana- prasarana dan sumber daya manusia yang handal akan mengikuti model baru ini dengan cepat. Sekolah yang miskin fasilitas dan sumber daya manusia akan hanyut diterpa badai. Itulah gambaran sekolah- sekolah di Indonesia saat ini. Dampak serupa berlaku pada para guru. Guru dengan kemampuan IT yang handal akan maju sebagai garda terdepan dalam menggiring sistem pembelajaran on-line, guru yang cepat belajar akan mengikuti atau cepat menyesuaikan diri dengan kebiasaan baru ini. Biasanya guru-guru muda telah disiapkan untuk hal tersebut. Ironisnya, guru-guru yang tetap ngotot dengan cara pembelajaran konvensional (tatap muka) akan gulung tikar dalam menghadapi covid-19.

Home learning menjadi pilihan utama selama merebaknya covid-19, akan tetapi apakah model pembelajaran ini dapat dipertanggungjawabkan setidaknya dilihat dari proses pembelajaran maupun


kualitas hasil belajar siswa? Marilah kita sekilas merefleksikan hal tersebut. Sistem sekolah selama ini terjadi melalui kelas berukuran besar yang diisi dengan anak-anak yang menunggu diajar dalam suatu kurikulum yang dipaksakan. Sistem tersebut cenderung bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional dan mempunyai kemungkinan besar menanamkan keseragaman, ketergantungan, dan kekurangterlibatan. Dalam era milenial, yang dibutuhkan adalah kelas-kelas kecil yang diisi dengan murid-murid yang mengerjakan berbagai subjek dan proyek yang menantang, melibatkan, dan menghidupkan pikiran mereka. Home learning sebagai model “pendidikan (sekolah) di rumah” mengantar kita pada suatu kesimpulan logis. Satu kelas untuk satu siswa. Hal ini dirasa masih asing di Indonesia karena masih sangat sedikit anak yang dididik di rumah. Padahal ruang kelas terbaik di negara mana pun bukanlah di sekolah atau di universitas, melainkan berada di sekitar meja makan di rumah (Dr. Richard Berenden dalam Creating The Future).

Banyak pihak meragukan proses dan hasil pembelajaran dengan model home learning, tetapi sebagian orang tua yang memilih pendidikan di rumah bagi anaknya telah merasakan banyak keuntungan. Berdasarkan temuan Prof Ronald Meighan dari Fakultas Pendidikan Universitas Nottingham dalam Education Now,

1.  Kendatipun banyak orang meragukan, penelitian menunjukan bahwa para “pelajar-rumah” justru lebih dewasa dan secara sosial lebih mampu menyesuaikan diri. Hal ini didukung dengan 3 alasan. Pertama, anak-anak di sekolah dikelompokkan menurut rentang batas usia yang sempit atau meminjam istilah Prof Meighan, dikelompokkan dalam “kapsul periode ketidakmatangan”. Sedangkan di rumah mereka dapat berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai lapisan usia. Kedua, banyak pekerjaan di kelas-kelas konvensional disampaikan dengan komunikasi searah dari guru kepada siswa. Sangat sedikit pertanyaan diajukan oleh siswa, lebih banyak dari guru. Pada umur 5 tahun, anak-anak bertanya rata-rata 30 pertanyaan dalam satu jam dan pada umur 7 tahun menurun drastis menjadi hanya 2 atau 3 pertanyaan. Pendidikan berbasis rumah membalikkan proses itu, kebanyakan pertanyaan dikemukakan oleh siswa, dan inilah yang membuat siswa tetap termotivasi. Mereka ingin segera melihat umpan balik dari pertanyaannya.

Ketiga, walaupun kelihatannya anak-anak belajar bersosialisasi di sekolah, tetapi sebenarnya tidak. Mereka belajar “sendiri-sendiri tetapi bersamaan”. Manusia bisa belajar lebih baik jika bekerja sama. Tetapi, di sekolah kerja sama sering dianggap atau dituduh menyontek.

2.  Home learning berkaitan dengan hasil pendidikan yang bersifat personal dan fleksibel, sementara sekolah memaksakan suatu kurikulum yang bersifat umum. Di rumah ada umpan balik langsung dan segera tentang sejauh mana anak-anak memahami materi yang sedang dipelajari, sedangkan di sekolah banyak anak mungkin merasa segan dan malu untuk mengatakan tidak mengerti.

3.  Para “pelajar-rumah” mengembangkan disiplin diri yang lebih besar dan secara otomatis belajar menjadi tidak tergantung pada orang lain. Anak-anak menjadi keranjingan membaca, bukankah ini yang diharapkan dalam pendidikan berbasis literasi saat ini. Mereka berinisiatif menemukan apa yang perlu diketahuinya, mereka tidak menunggu diajari oleh orang lain. Guru dan orang tua lebih banyak belajar bersama mereka dan menjadi pendamping untuk aktif mencari informasi.


4.  Hampir semua “pelajar-rumah” menggunakan komputer (PC, laptop atau smartphone) secara ekstensif untuk menulis penelitian atau menulis laporan. Hal ini merupakan persiapan langsung untuk menghadapi dunia kerja di masa depan.

5.  Penelitian selama lebih dari 20 tahun menunjukan bahwa hasil akademik rata-rata “pelajar-rumah” melebihi pelajar yang belajar di sekolah biasa. Bahkan, para “pelajar-rumah” tertentu mempunyai kemampuan akademik dua tahun lebih cepat dibanding kawan-kawannya yang belajar di sekolah.

Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pihak sekolah agar home learning dapat berlangsung optimal, antara lain:

1.  Menjamin setiap anak mempunyai kurikulum individual dan sebanyak mungkin lingkup bagi penjelasan personal. Hal ini dapat terjadi jika sekolah didukung oleh sarana-prasarana dan sumber daya manusia yang melek IT serta para siswa telah belajar tentang bagaimana cara belajar sejak usia dini. Setiap anak sungguh harus mengenali potensi dirinya masing-masing.

2.  Membagi siswa dalam kelas-kelas kecil agar umpan balik terhadap materi yang tidak dimengerti dapat langsung diberikan (tepat sasaran).

3.  Menjamin pekerjaan proyek di masyarakat dijalankan sedemikian sehingga anak-anak dapat berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang dan usia ketika mereka mencoba memecahkan masalah-masalah nyata. Ini berarti mereka belajar melalui pengalaman (experiental learning), bukan textbook oriented.

4.  Melibatkan orang tua dalam melahirkan proyek-proyek yang menantang dan menyenangkan di rumah, sedemikian sehingga belajar tidak lagi dipandang sebagai aktivitas terpisah yang terbatas di sekolah tetapi sebagai rangkaian kegiatan di rumah dan masyarakat. Suatu bagian alamiah dari kehidupan utuh seorang anak.

5.  Menjadikan belajar sebagai suatu aktivitas hampir setahun penuh. Para “pelajar-rumah” tidak kehilangan waktu libur semester dan libur akhir tahun, sehingga mereka mempunyai lebih banyak waktu untuk “kunjungan lapangan”.

6.  Mengeksploitasi situasi yang sama sekali baru yaitu kehadiran “masyarakat kaya-informasi”. Dahulu kebanyakan orang hidup dalam lingkungan yang miskin-informasi, sehingga guru dipandang sebagai almari pengetahuan. Tetapi, dewasa ini radio, TV, majalah, jurnal, surat kabar, museum, perpustakaan, tempat ibadah, media on-line, dan semua kemajuan teknologi informasi merupakan “jalan raya bebas hambatan” yang telah mengubah secara dramatis keseimbangan itu. Generasi milenial tidak lagi menunggu untuk diajar dan dapat mengelola proses belajarnya sendiri, mengikuti rencana belajarnya sendiri yang jelas dan semua sumber informasi tersebut menjadi bagian alamiah dari pendidikan mereka.

Sampai saat ini home learning bukan pilihan realistik bagi kebanyakan sekolah di Indonesia. Buktinya, model ini muncul dari keterpaksaan dalam menyikapi keadaan saat ini. Sekolah tidak akan memilih home learning jika mereka tidak benar-benar peduli pada upaya untuk mencegah merebaknya wabah covid-19 sembari mengharapkan hasil pendidikan yang terbaik bagi siswanya. Apalagi, kebijakan home learning dilakukan 2 minggu menjelang UN SMA 2020 dan bersamaaan dengan UN SMK 2020. Tidak mengejutkan jika Presiden Joko Widodo akhirnya membatalkan pelaksanaan UN 2020 untuk semua jenjang sekolah. Seiring dengan semangat “merdeka belajar” yang dicanangkannya,


Mendikbud Nadiem Makarim memberikan rambu-rambu home learning yang sangat manusiawi bagi siswa dan guru, yaitu:

1.  Home learning dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa, tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas maupun kelulusan.

2.  Home learning difokuskan pada pendidikan kecakapan hidup terutama mengenai pandemi covid- 19.

3.  Aktivitas dan tugas dalam home learning dapat bervariasi antarsiswa, sesuai dengan minat dan kondisi masing-masing, termasuk mempertimbangkan kesenjangan akses/fasilitas belajar di rumah.

4.  Bukti atau produk aktivitas home learning diberi umpan balik yang bersifat kualitatif dan berguna dari guru, tanpa diharuskan memberi skor/nilai kuantitatif.

Sekolah harus siap menghadapi tantangan zaman dan adaptif dalam mengikuti perkembangan situasi masyarakat dan negara. Sekolah yang tidak pernah melakukan pembelajaran on-line akan diterpa badai terbesar dalam situasi saat ini. Kualitas sekolah tidak hanya dilihat dari seberapa banyak siswa dapat lulus ujian atau mempunyai nilai yang tinggi. Kualitas sekolah juga dapat dilihat dari bagaimana siswa, guru, dan pemangku kebijakan sigap dalam menghadapi tuntutan kondisi masyarakat. Aspek ini justru penting pada masa yang akan datang, karena perubahan adalah suatu yang selalu ada dalam kehidupan. Sekolah harus dipandang sebagai salah satu dari banyak sumber daya pembelajaran, bukan satu-satunya pusat pembelajaran. Belajar harus berlangsung setiap saat di setiap tempat. Melalui home learning, siswa dapat belajar “setiap saat dan sepanjang hayat”. Bukan hanya guru yang harus merespon. Orang tua harus pula hidup dalam gua Aladin yang besar di mana terdapat sumber-sumber daya pendidikan di sekelilingnya dan mengantar anak-anaknya kepada media pembelajaran dan tempat-tempat yang dapat membangkitkan gairah belajar.

Seorang peneliti home learning, Alan Thomas menentang paradigma umum bahwa anak-anak usia sekolah harus diajar secara formal jika meraka hendak belajar. Menurut Alan, pendidikan di sekolah tampaknya ingin mencakup semua yang diinginkan para guru atau pemangku kebijakan, namun jarang mencapai tujuan. Kualitas pembelajaran justru akan meningkat secara meyakinkan jika siswa diajar secara individual dan berkembang sesuai potensinya. Paradigma ini mungkin mengejutkan banyak pihak. Suatu kontradiksi akan terjadi jika sekolah bermimpi untuk mengimplementasikan suatu kurikulum yang ketat dengan begitu banyak subjek tetapi mengharapkan suatu hasil kreativitas dan kecakapan beradaptasi.

Menilik situasi dan kondisi saat ini, “merdeka belajar” yang dicanangkan Mendikbud Nadiem Makarim akan menjadi semakin menemukan manifestasinya. Virus dari Wuhan ini telah mengubah paradigma pendidikan dari sekolah formal menjadi proses belajar yang dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. Siswa harus siap dan mampu belajar secara mandiri. Siswa yang unggul bukan lagi siswa yang nilai ujiannya tertinggi atau juara dalam berbagai lomba akademik, tetapi siswa unggul adalah siswa yang mempunyai kejujuran, tanggung jawab, kemandirian, dan kedewasaan dalam belajar yang pada akhirnya dapat melejit menurut kecerdasannya masing-masing. Mungkinkah reformasi pembelajaran akan dimulai sebagai akibat dari wabah covid-19? Mungkinkah home learning akan menjadi sistem pendidikan Indonesia di masa depan? Kita tunggu waktu yang akan menjawabnya.



Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment