Article Detail

Sekolah dan Pendidikan Iman Anak

“Membangun dasar baik di dalam batin mereka” menjadi visi karya pelayanan pendidikan yang digagas oleh Bunda Elisabeth Gruyters, dan salah satu unsur “dasar baik” itu adalah iman yang dalam. Pertumbuhan iman anak tentu saja menjadi dambaan setiap orang tua, terlebih dalam konteks jaman di mana segala sesuatu menuntut adanya kekuatan kepribadian, sikap, dan juga prilaku yang sejalan dengan nilai-nilai moral keagamaan.

Keluarga sebagai Gereja Rumah Tangga (Ecclesia Domestica) menjadi tempat penyemaian dan pengembangan iman anak untuk menjadi manusia seutuhnya. Di sanalah anak dibimbing dan dihantar ke arah iman dewasa di mana terdapat keseimbangan antara pengetahuan dan penghayatan iman. Orangtua adalah mitra Allah dalam karya penciptaan manusia baru, maka harus menjadi pembina utama dan pertama serta tak tergantikan, melalui kesaksian dan keteladanan hidup kristiani sejati yang diwujudkan dengan pemberian kasih sayang yang tulus, adil dan arif bijaksana (bdk.LG 11; GE 3; FC 50).

 

Kesempatan untuk meneruskan pembinaan kepribadian yang bertumbuh dalam iman selanjutnya ada pada civitas akademika lembaga pendidikan. Di lingkungan sekolah/pendidikan formal inilah dikembangkan materi pembelajaran yang memungkinkan setiap peserta didik memperoleh pengetahuan tentang pembinaan dan pembangunan iman serta pertumbuhannya. Meski demikian, tidak semua pendidikan formal di sekolah memberikan gambaran yang komprehensif terhadap pentingnya pembinaan dan pengembangan iman ini. Paul Suparno (dalam Majalah Basis, 2003/6-7: 31-33) mensinyalir bahwa pendidikan agama di sekolah terlalu menekankan segi kognitif-itupun disampaikan dengan sistem indoktrinasi-kurang memberikan perhatian pada unsur-unsur kemanusiaan, serta menekankan pada ibadah formal sehingga kurang memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengolah dan mendalami imannya sendiri.  

Menjadi tantangan tersendiri tentu saja, apalagi jika keluarga, sekolah, dan masyarakat kurang memberikan dukungan terhadap proses pembelajaran iman. Pendidikan iman yang terorientasi pada pendekatan teoritis sering terjebak pada hasil kuantitatif semata dan melupakan pembinaan kepribadian dan prilaku kehidupan para peserta didik, sementara tuntutan lingkungan menuntut lain. Lingkungan di mana anak-anak tinggal dan hidup seringkali menawarkan dan menampilkan nilai-nilai yang berbeda dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam pembelajaran agama. Para peserta didik berhadapan langsung dengan realitas hidup yang menuntut pemahaman dan kekuatan iman yang cukup serta kepekaan prilaku agamis.

 

Hakikat terpenting dari seluruh proses pendidikan iman adalah agar anak berkembang di dalam iman mereka sehingga mampu terlibat dan bertanggungjawab di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dalam konteks pendidikan iman katolik, anak perlu dibantu untuk mengenal misteri karya keselamatan Allah, belajar bersyukur atas berbagai karunia, serta belajar menghayati hidup sebagai manusia baru (bdk. GE art. 2). Hal-hal tersebut meliputi unsur penyampaian pengetahuan, pendidikan liturgi, pembentukan moral, mengajar berdoa, pendidikan hidup berkomunitas, dan pendidikan misioner (bdk. Direktorium Katekese Umum 1977).

  1. Penyampaian pengetahuan. Pengetahuan iman bukanlah sekedar pengetahuan akademis, tetapi pengetahuan yang memperkaya dan mempengaruhi pengalaman hidup mereka, pengetahuan yang mengundang pada keyakinan dan kepercayaan akan Allah sehingga mampu menggerakkan.
  2. Pendidikan Liturgi. Pengetahuan yang benar dan dalam akan mendorong orang untuk bersyukur dan merayakannya dalam liturgi. Casiano Floristan (1984:56) menegaskan bahwa cara terbaik dalam pendidikan iman melalui liturgi adalah dengan melibatkan anak di dalamnya serta memperkenalkan simbol-simbol yang digunakan Gereja.
  3. Pembinaan Moral. Anak-anak memerlukan pembinaan “langkah demi langkah untuk belajar menghargai dengan suara hati yang lurus nilai-nilai moral, serta dengan tulus menghayatinya secara pribadi, pun juga untuk makin sempurna mengenal serta mengasihi Allah” (GE art. 1). Pendidikan iman membantu  anak agar makin hari makin mampu menyesuaikan hidupnya dengan cara dan nilai-nilai etis.
  4. Belajar Berdoa. Doa merupakan ungkapan relasi personal dengan Allah, sekaligus membawa dalam persekutuan dengan jemaat serta membangun sikap kasih terhadap sesama (FABC II No. 13-19). Dengan belajar berdoa, anak-anak diajak untuk semakin menyerahkan hidupnya pada Tuhan, sekaligus menyatukan dirinya dengan komunitas dan sesamanya.
  5. Pendidikan Berkomunitas. Pendidikan iman mengundang anak untuk bersatu pula dengan persekutuan orang beriman. Anak diajak menyadari bahwa hidup beriman tidaklah seorang diri, tetapi bersama dengan yang lain (bdk. c “communion of community"). Anak perlu diantar masuk ke dalam kebersamaan itu untuk turut terlibat dan bertanggungjawab bersama-sama dengan yang lain.
  6. Pendidikan Semangat Misioner. Sejak dini anak-anak perlu mengembangkan semangat misioner (mewartakan Injil) mulai dari lingkungan teman-teman sebaya mereka. Sejak awal anak-anak perlu dikenalkan pada dialog dengan agama-agama lain, agar tumbuh pengertian dan pembiasaan bagi mereka untuk menghormati dan menghargai perbedaan.
Kesimpulan dari unsur-unsur pendidikan iman tersebut sangatlah jelas. Thomas Groome (2002/4:80) menyebut tiga aspek iman kristiani yang harus diperhatikan dalam pendidikan iman, yaitu aspek kognitif yang memberikan informasi mengenai ajaran iman seseorang, aspek afektif yang membuat orang berdoa dan mengembangkan spiritualitasnya, serta aspek tingkah laku yang membuat orang bertindak sesuai keutamaan-keutamaan Kristus.

Bagaimanakah peran sekolah melalui pendidikan agama-religiositasnya dalam keseluruhan konteks pendidikan iman anak ini? Harapannya jelas, semoga pendidikan agama-religiositas di sekolah tidak hanya sekedar menyampaikan pengetahuan, tetapi sungguh membantu anak untuk belajar beriman melalui pengalaman-pengalaman dan perjumpaan iman mereka sendiri. Pendidikan iman di sekolah juga menjadi pendidikan iman yang terbuka terhadap perjumpaan dan dialog dengan umat beriman lain. Di sinilah peran dan kerjasama berbagai pihak menjadi sangat penting. Guru, pendamping iman anak di lingkungan, bahkan orang tua memegang peran sama pentingnya untuk bersinergi mengembangkan dan menjalankan berbagai program katekese dengan berbagai pendekatan dan metode (total catechetical education).

Disarikan dari berbagai sumber: M. Purwatma (Pendidikan Holistik bagi Pendidikan Iman Anak, Widya Dharma Vol.19 No.1, Oktober 2008), Thomas H. Groome (Identity and Change in Religious Education, 1994, dan Total Catechetical Education, 2002), C. Floristan (The Liturgi: The place for Education in the Faith, 1984), Paul Suparno (Pendidikan Agama di Sekolah Model KBK, 2003)

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment