Article Detail

Langit dan Bumi yang Baru

Kejahatan dalam Bahasa Simbol
“Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan lautpun tidak ada lagi” (Why.21:1)

Tema tentang langit yang baru dan bumi yang baru seringkali muncul dalam nubuat para nabi Perjanjian Lama berkaitan dengan pemulihan bangsa Israel. Langit yang baru dan bumi yang baru menjadi bagian dari janji Tuhan untuk menciptakan sebuah kehidupan yang baru, sebuah gambaran kehidupan yang ideal di mana terjadi berbagai perubahan yang luar biasa, bahkan melampaui pemahaman manusia (Yes.65:17-25). Di tempat yang baru itulah manusia akan hidup damai dan tidak akan ada lagi permusuhan antara manusia dengan ciptaan yang lain (Yes.66:22). Pertanyaannya adalah, bagaimana memahami konsep langit yang baru dan bumi yang baru tersebut?



Terdapat dua konsep pemahaman mengenai langit yang baru dan bumi yang baru;
Pertama, konsep pembaharuan; konsep ini berkembang dalam tradisi Yahudi kuno yang menunjuk pada harapan akan dunia yang diperbarui, yang lama bukan diganti melainkan dibuat menjadi lebih baik (2Barukh 57:2) . Yang menjadikan baru adalah kehadiran Tuhan di tengah-tengah umat manusia setelah berhasil mengalahkan kekuatan jahat (2Barukh 32:6) .
Kedua, konsep penggantian; bumi dan langit yang lama akan dihancurkan, dibinasakan, dilenyapkan, dan digantikan dengan langit dan bumi yang baru (2Ptr.3:10). Lenyapnya langit dan bumi yang lama membawa pengharapan akan sebuah kebenaran baru di mana orang-orang yang melakukan kehendak Allah akan hidup selamanya (1Yoh.2:17).
Jika langit yang baru dan bumi yang baru bukan lagi sebuah tema yang asing dalam tradisi Yahudi, lalu di manakah letak keistimewaan teks Wahyu 21:1? Rupanya Yohanes menyertakan sebuah indikasi langit yang baru dan bumi yang baru dalam frase simbolik, “... dan lautpun tidak ada lagi”.

Ada apa dengan laut?
“Tetapi orang-orang penakut, orang-orang yang tidak percaya, orang-orang keji, orang-orang pembunuh, orang-orang sundal, tukang-tukang sihir, penyembah-penyembah berhala dan semua pendusta, mereka akan mendapat bagian mereka di dalam lautan yang menyala-nyala oleh api dan belerang; inilah kematian yang kedua” (Why.21:8)
Dalam tradisi apokaliptik , laut dipahami sebagai sebuah lubang besar, dalam dan serba misterius. Laut adalah ketidakpastian dan tempat munculnya berbagai ancaman, maka laut menjadi tempat yang paling jahat, tempat siksaan dan tempat bagi dunia orang mati (Why. 19:20, 20:10,14). Laut menjadi simbol kejahatan karena di sanalah tempat bagi kekuatan jahat dan kuasa dosa.
Kiranya maksud Yohanes sangatlah jelas; langit dan bumi yang baru sungguh-sungguh terwujud apabila “laut” sebagai simbol kekuatan jahat dapat dilenyapkan. Lenyapnya laut berarti lenyapnya dosa, dan itu berarti kebenaran mendapatkan tempatnya (2Ptr.3:13). Inilah yang dimaksud Yohanes dengan turunnya Yerusalem baru , ibukota ciptaan baru di mana Allah hadir dan tinggal di antara umat manusia (Why.21:3). Lenyapnya kejahatan memungkinkan terjalinnya kembali relasi kasih antara kekuatan Ilahi dan kekuatan duniawi.

Baru: Lenyapnya Kejahatan

Teks Kitab Suci selalu terbuka terhadap penafsiran konteks dan maksud penulisnya. Dalam perikop Wahyu 21:1-8, bisa jadi Yohanes mau menggambarkan peristiwa-peristiwa historis yang terjadi pada masa ketika teks ini ditulis . Atau mungkin penggambaran Yohanes menunjuk pada peristiwa historis yang akan terjadi dalam rentang waktu antara saat penulisan sampai zaman akhir. Bisa jadi pula hanya sebatas bahasa sastra/puitis dan tidak berhubungan dengan peristiwa historis sama sekali.

Pemahaman konteks dan konsep penciptaan langit yang baru dan bumi yang baru akan sangat mempengaruhi sikap pembaca teks. Konteks masa lalu saat Yohanes hidup dan konsep penggantian langit dan bumi yang lama menjadi langit dan bumi yang baru bisa membuat kita menjadi apatis terhadap perwujudan langit dan bumi yang baru, “Itukan terjadi zaman dulu!”, atau, “Apapun keadaannya sekarang, toh langit dan bumi kita kelak akan digantikan dengan yang baru!” Jangan dilupakan bahwa kita mengenal konsep pembaruan, dan baik pula bila kita menafsirkan teks Why.21:1-8 sebagai penciptaan langit dan bumi yang baru yang secara historis terjadi di masa kini. Kenyataan bahwa langit dan bumi kita sedang terluka menjadi indikasi betapa semakin dalam dan luasnya “laut” kita. Kejahatan demi kejahatan terhadap alam menjadi bahasa lain dari iblis, nabi-nabi palsu, orang-orang keji, bahkan orang-orang sundal.

Teks Why.21:1-8 sangatlah inspiratif bagi proses penghadiran karya penciptaan langit dan bumi yang baru “kini dan di sini”. Tidak mungkin menghidupi harapan akan langit yang baru dan bumi yang baru tanpa memaknai proses lenyapnya “laut” kejahatan manusia. Pertanyaannya, “Bagaimana kita ikut terlibat aktif dalam proyek besar Allah dalam menciptakan langit yang baru dan bumi yang baru?”
Pertama, kita harus berani meneliti, melihat, mengakui dan mengoreksi kekuatan/kebiasaan-kebiasaan jahat kita terhadap alam, “Adakah aku memiliki sifat dan sikap jahat terhadap alam lingkungan sekitarku?” Kedua, kita harus mulai model pendekatan baru terhadap bumi, menyapa bumi kita tanpa dilandasi kekuatan dan niat yang jahat. Inilah artinya “pembaruan”, kita berbalik dari kejahatan menuju sikap yang menjunjung tinggi semangat kebaruan. Kita tidak boleh berdiam diri saja menyaksikan kehancuran demi kehancuran alam kita. Kita harus memiliki keyakinan, “Jika satu saja kejahatan terhadap bumi berkurang, itulah tanda proses pemenuhan janji terwujudnya Yerusalem Baru!”

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment