Article Detail

Menemukan Kasih di Negeri Sakura (2)

Berkunjung di Himeji Science Museum yang memamerkan kemajuan penelitian antariksa Jepang, mempelajari proses pembuatan sake (minuman tradisional Jepang) di Nadagiku Sake-Brewery Museum dan melihat pemandangan kota Himeji dari ketinggian Tegarayama Central Park bersama sahabat baik dari sekolah Harima, Yasui Sensei dan Ayumi San.

Bersama Nakatsuka Sensei, seorang sahabat yang cantik dan ceria, menyaksikan kejayaan kota Kobe dari Kobe Tower dengan pelabuhan yang sangat bersih dan tertata rapi. Mencerminkan tata kota yang sangat baik dan kesadaran warga untuk bersama-sama menjaganya.

Sungguh sangat mengesankan berkunjung dan mempelajari sejarah-budaya di kuil Kiyomizu, yang dikelilingi hutan pohon Maple dan Sakura yang bertaburan koyo (daun maple berwarna kuning-merah) khas musim gugur, kuil Sanjusangendo yang berisi seribu patung Budha, Kinkaku-ji Golden Pavillion yang terbuat dari emas, Fushimi Inari Taisha Shrine yang merupakan bangunan kuil berwarna merah dengan lebih dari 10.000 gerbang (torii).

Mendaki Mount Shosha yang sangat legendaris dengan bangunan kuil Engyoji yang megah serta mengikuti prosesi makan yang disajikan dengan gaya tradisional Jepang yang dikenal dengan istilah Kaiseki Ryori.

Blusukan di jalanan Sannenzaka dan gang Ishibe-Koji Kyoto yang dipenuhi rumah-rumah tradisional Jepang mampu memberikan pengalaman visual luar biasa mengenai suasana Kyoto di zaman kuno. Matsumoto Sensei, Hotani San dan Higuchi San, guru dan staf sekolah Harima yang baik, merekalah yang melengkapi pengalaman saya di tempat-tempat bersejarah itu.

Pada hari terakhir saya berada di Jepang, saya memperoleh kesempatan yang sangat baik untuk menikmati suasana kota kecil Miki yang memiliki kekayaan persawahan dan bangunan rumah gerabah tradisional. Ibu Tsunemori, seorang guru yang sangat keibuan dan ramah mengundang saya berkunjung ke kediamannya di kota tersebut.

Terkagum-kagum menyaksikan indahnya design rumah beliau yang kental dengan budaya Jepang dan sambutan hangat dari keluarga yang saya jumpai. Jamuan teh hijau hangat dan kue matcha yang nikmat, bincang-bincang ringan mengenai keluarga kami masing-masing menambah akrab suasana di siang itu. Lengkap dengan sejarah kejayaan kerajaan Miki yang diceritakan ibu Tsunemori sebagai bagian keluarga prajurit kerajaan Miki di masa itu.

Pengalaman demi pengalaman membawa diri saya semakin dekat dengan budaya Jepang. Budaya berperilaku dan budi pekerti baik yang dimiliki oleh rekan-rekan guru di Harima ternyata juga dimiliki oleh sebagian besar warga Jepang yang berinteraksi dengan saya di luar lingkungan sekolah. Pekerja di stasiun kereta Himeji, penjaga toko, penjaga kastil Himeji, jemaat gereja Katolik Himeji, pengendara mobil di jalan raya, pejalan kaki di trotoar, pengguna kereta dan sebagainya. Budaya kesopanan baik dalam tingkah laku maupun perkataan, budaya menghargai orang lain, budaya berpikir positif, budaya menjaga ketertiban dengan kesadaran diri, melengkapi budaya bekerja secara totalitas tanpa mengenal usia.

Sikap tidak malu untuk mengakui kesalahan, meminta maaf dan memberikan penghargaan bahkan pujian bagi orang lain membawa suasana damai dimanapun. Memanusiakan orang lain, itulah kesan utama yang saya rasakan. Berbudi pekerti baik tanpa terkotak-kotak oleh suku, ras dan agama. Tidak salah bila banyak orang yang mengatakan bahwa Jepang merupakan negara yang relatif aman dan ramah bahkan bagi seorang warga negara asing seperti saya.

Satu bulan telah berlalu, hari ini saya harus meninggalkan sekolah Harima yang mulai saya cintai untuk kembali menaiki burung besi, melintasi langit Jepang menuju tanah air. Berat hati meninggalkan keluarga dan sahabat-sahabat baru di Harima High School, namun waktunya sudah tiba, saya harus kembali ke Indonesia untuk murid-murid saya di Tarakanita. Sambil memandang garis horizon di luar jendela pesawat, saya merenung, rupanya ada yang berubah dengan perasaan dan pemikiran saya.

Perasaan dan pemikiran yang dulu saya miliki mengenai sikap kaku warga Jepang yang identik dengan kehidupan yang tegang, egois dan perfeksionis. Ditambah memori sejarah buruk penjajahan Jepang di negeri kita yang saya pelajari semasa saya sekolah. Kini, semua itu berganti dengan rasa kagum terhadap sikap mereka yang terhormat, terbuka, menghargai orang lain dan memberikan yang terbaik untuk orang lain. Atau dengan istilah yang lebih sederhana yaitu mengasihi orang lain seperti dirinya sendiri. Terbukti sangat berbeda…. Sangat jauh berbeda dengan apa yang saya anggap sebelumnya.

            Ya, melalui perjalanan satu bulan belajar di Jepang, pandangan saya berubah total. Saya mengakui, saya telah jatuh hati dan menemukan kasih yang indah di negeri lain, yaitu negeri Sakura. Kasih yang dihidupi oleh warga sekolah Harima dan masyarakat kota Himeji, Jepang. Kasih yang serupa dengan teladan Tuhan Yesus Kristus, sahabat kita yang sejati. Kasih yang sepatutnya dapat kita bagikan kepada orang lain secara acak dan tulus. (Esli Yunita Sari, S.Si. Guru SMA Tarakanita Gading Serpong)

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment