Article Detail

Mismatch and School vers. 3.0

Dalam sebuah kesempatan, Bpk. Muh. Nuh selaku Menteri Pendidikan Nasional pernah menyampaikan sebuah pesan mendalam sekaligus menantang bagi dunia pendidikan, “Jika kita mengelola pendidikan, jangan pernah kuatir tidak mendapatkan masalah, karena masalah akan terus datang dan bertambah”. Seiring dengan perkembangan jaman yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, bahkan ideologi, permasalahan dunia pendidikan semakin hari semakin kompleks. Kurikulum yang menjadi bagian tak terpisahkan dari seluruh proses pembelajaran di sekolah dihadapkan pada kenyataan bahwa sumber dari seluruh substansinya adalah kebutuhan para peserta didik, sementara profil kompetensi lulusan yang dihasilkan juga harus kontekstual dengan tuntutan perkembangan dan kehidupan masyarakat.

Mismatch
 Dengan rendah hati kita perlu mengakui bahwa pengelolaan pendidikan secara keseluruhan masih menyisakan banyak pekerjaan rumah, sebut saja beberapa contoh berikut ini: perkelahian dan tawuran pelajar masih kerap terjadi, nilai matematika dan logika tidak berkorelasi pada kemampuan peserta didik dalam mengambil sebuah keputusan, generasi-generasi yang hafal sejarah tetapi tidak pernah belajar dari sejarah, bahkan sekolah menjadi ajang unjuk kehebatan yang cenderung arogan para orang tua yang terlalu ikut campur dalam proses pembelajaran di sekolah.

Tidak sedikit sekolah yang berorientasi pada peningkatan kualitas akademiknya demi sebuah predikat kejuaraan, meski hanya satu atau segelintir siswa yang berprestasi seolah menjadi legitimasi bahwa sekolah juga semestinya berprestasi. Sejatinya mengikuti perlombaan sama pentingnya dengan memenangkan sebuah perlombaan, meski demikian kemenangan bukanlah satu-satunya tujuan tetapi lebih sebagai inspirator dan motivator bagi peserta didik. Persoalannya adalah bahwa kemenangan satu orang bukanlah gambaran yang komprehensif atas prestasi dan keunggulan sekolah serta seluruh peserta didiknya.

Hampir sebagian besar sekolah di negeri ini masih menjadikan Ujian Nasional sebagai tolok ukur keberhasilan seluruh proses pembelajarannya, dan karenanya standar sekolah berkualitas menjadi sangat relatif bila diukur dari rata-rata nilai UNnya. Demi mengejar prestasi tertinggi dalam hajatan besar bernama UN itu sekolah berubah fungsi menjadi tempat Bimbingan Belajar mata uji UN ketimbang sebuah tempat bagi proses pendidikan nilai-nilai kehidupan konkrit. Ironisnya, justru mekanisme UN banyak sekali menyuguhkan pembelajaran ketidakjujuran dan ketergantungan pada budaya instan yang cepat dan menguntungkan.

Fenomena lain yang menarik untuk dicermati dalam dunia pendidikan kita adalah internasionalisasi tanpa arah. Muncul kategori-kategori sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), atau Sekolah Internasional (SI) dengan profil kualitas yang tidak jelas. Taraf internasional digunakan sebagai kamuflase penggunaan istilah asing, bukan sebagai tolok ukur penyejajaran dengan kualitas asing, bahkan kecenderungan yang terjadi adalah legitimasi tarif berstandar internasional yang jauh lebih mahal hanya karena menggunakan bahasa asing atau nama internasional.

Metode dan mekanisme pengembangan sekolah berkualitas lebih cenderung diartikan secara fisik (pengoperasian sekolah), sementara kualitas pembelajaran yang sesungguhnya seringkali tertutupi oleh terpenuhinya standar-standar minimal yang dituntutkan. Persaingan dalam dunia pendidikan memang tidak dapat dihindarkan, tetapi yang seringkali terjadi bahwa kualitas yang dijual tidak sepadan dengan kualitas yang harus terus dijaga dan diperjuangkan sebagai nilai khas dan unggulan yang menjadi citra sekolah (sustainability). Justru keberlangsungan visi-misi sebagai kekhasan sekolah menjadi lebih penting dikembangkan sehingga menjadi nilai tawar bagi masyarakat yang mengutamakan keutuhan kualitas peserta didik.

Fenomena-fenomena tersebut menjadi sebagian kecil contoh bagaimana terjadi kesenjangan antara hakikat sesungguhnya dari pendidikan dengan fakta nilai yang dihasilkan. Inilah mismatch dalam pendidikan kita, saat di mana pendidikan hendaknya menjadi unsur yang sangat penting dari seluruh dinamika hidup manusia, saat yang sama pula pendidikan menjadi bumerang yang justru membelenggu dan tidak mencerdaskan, apalagi membebaskan.

Challenges
Perdebatan mengenai bentuk dunia sudah terjadi sejak para pemikir (filsuf) Yunani berdiskusi tentang kosmologi. Dalam gambaran mereka, dunia atau tempat di mana mereka berpijak seperti sebuah piring datar yang memiliki batas ruang tepi, juga pelindung atap dari awan untuk mencegah turunnya air dari atas. Dalam konteks globalisasi, Konsep dunia yang datar juga muncul dalam sebuah buku The World is Flat: A Brief History of the Twenty-First Century karya Thomas Friedman sebagai sebuah tanggapan atas perkembangan era digital di awal abad 21. Firedman mencoba membuat kategori globalisasi dalam tiga versi: globalization 1.0, globalization 2.0, dan globalization 3.0.

Globalisasi versi 1.0 (tahun 1492-1800) ditandai dengan terjadinya kolonialisasi dan ekspansi negara-negara secara global, sementara globalisasi versi 2.0 (tahun 1800-2000) ditandai dengan semakin berkembangnya perusahaan-perusahaan multinasional di banyak negara, sedangkan globalisasi versi 3.0 (tahun 2000-sekarang) ditandai dengan semakin intensnya koneksi dan relasi manusia secara global. Dalam konteks globalisasi versi 3.0 individu-individu memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berada, bekerja, dan melakukan interaksi secara global di manapun dan kapanpun. Kesempatan mereka untuk berkomunikasi dan berkompetisi menjadi semakin terbuka lebar (equal level of playing field) bersama dengan individu-individu lain dari berbagai belahan dunia.

Perkembangan Information and Communication Technology (ICT) menjadi penanda yang sangat jelas terlihat dalam era globalisasi versi 3.0 ini. Sebut saja perkembangan 3,5G sebagai pengembangan akses cepat multimedia, WIMax dengan radius sampai 50 Km, digital convergence di mana informasi-informasi didigitalisasi dalam akses multimedia, Voice Over Internet Protocol (VOIP) yang memungkinkan komunikasi audio-visual dengan cepat, murah, dan efisien, belum lagi bermunculan mobile technology semisal mobileTV, smartphone, Iphone, juga vitur-vitur social network dalam internet, bahkan juga E-Cash yang memudahkan proses transaksi keuangan.

Kemajuan teknologi tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan generasi jaman ini. Mereka memang terlahir dan hidup dalam dunia digital, dunia yang diadopsi dalam keseharian, gaya belajar serta interaksi sosial. Mereka adalah generasi digital natives, penduduk asli dunia digital, lahir dan tumbuh dalam pengetahuan teknologi digital, menyukai sesuatu yang baru, cepat, dan inovatif, berprinsip pada kebebasan ekspresi seperti layaknya ideologi internet yang bebas tanpa batas. Mereka, melalui naluri alamiahnya, bisa dengan mudah mencari berbagai informasi, belajar dan memecahkan masalahnya sendiri, serta menciptakan berbagai inovasi kreatif dengan segala pernak-pernik teknologi.

Mereka menghayati perannya sebagai multi tasking, menyukai dan melakukan segala sesuatu dengan cara dan dalam waktu bersamaan. Sementara kita, para pengajar dan pendidik di sekolah kita dan sebagian besar orang dewasa, adalah digital immigrants, generasi yang mengadopsi dan menggunakan internet serta teknologi terkait, namun terlahir sebelum era digital itu sendiri. Kita adalah warga pendatang dan sekaligus pembelajar di dunia digital mereka itu. Para orang tua sekarang (termasuk Guru di sekolah) memfasilitasi proses belajar untuk masa depan, saat di mana kompleksitas dan keberagaman hidup menjadi lingkungan sosial mereka, integritas dan kepribadian yang utuh menjadi nilai wajib bagi generasi digital ini, serta kemampuan-kemampuan enterpreneur yang mengutamakan skill dan kreativitas.

Pendidikan secara menyeluruh, baik dalam lingkup keluarga, sekolah, maupun masyarakat dihadapkan pada core subjects abad 21 yang meliputi life and career skills (flexibility and adabtability, initiative and self direction, social and cross-cultural interaction, productibility and accountability, leadership and responsibility), learning and innovation skills (critical thinking and problem solving, creativity and innovation, communication, collaboration), dan information, media, and technology skills (information literacy, media literacy, and ICT literacy).  Tuntutan-tuntutan tersebut menempatkan institusi pendidikan sebagai sebuah lembaga pembelajar dan organisasi berpengetahuan dengan dua prasyarat yaitu: resources (sumber daya: infrastruktur, teknologi informasi, dan SDM), dan capabilities (kompetensi).

School version 3.0
Sekolah sebagai lembaga pendidikan tidak bisa mengelak dari dampak globalisasi, bahkan sedapat mungkin berjalan beriringan dengan tuntutan globalisasi tersebut. Sebuah peluang dan tantangan untuk melakukan sebuah transformasi pola pikir yang didasarkan pada paradigma yang sama mengenai kemajuan ICT. Sekolah mau tidak mau juga harus berkarakteristik 3.0 yang ditandai dengan: Pertama, perubahan orientasi layanan yang berpusat pada peserta didik dan juga guru. Kondisi belajar harus diupayakan sedapat mungkin membangun kebersamaan tetapi sekaligus memberikan pelayanan secara personal. Melalui multimedia leraning system peserta didik dilatih untuk terbiasa menemukan hal-hal yang baru, memahami proses dan mengambil sebuah kesimpulan yang benar. Kedua, pengembangan kompetensi dan kurikulum yang berorientasi pada soft and hard competency, mewadahi kreativitas dan inovasi, serta berdampak holistik (siswa dihadapkan dan diajak untuk mampu menyelesaikan permasalahan harian sesuai dengan tingkat usia, memperkuat iman, memahami budaya secara utuh, dan terbuka terhadap pemahaman global dengan dipersiapkan menghadapi tantangan dan peluangnya).

Secara organisatoris, sekolah versi 3.0 juga harus memiliki kapabilitas yang melingkupi sumber daya dan kompetensi sekolah. Dalam kaitannya dengan sumber daya, infrastruktur ICT is a must, not nice to have di mana kolaborasi dengan perpustakaan menjadi center of knowledge bagi seluruh anggota komunitas sekolah. Human capital juga menjadi titik perhatian penting berkaitan dengan sumber daya di mana pemetaan kompetensi para pendidik (soft-hard) sangat diperlukan dalam  rangka pembinaan dan pengembangan. Tuntutan karya profesional seorang pendidik juga menjadi penanda bagi terpenuhinya prasyarat sumber daya yang diperlukan di sekolah versi 3.0 ini. Selain sumber daya, satu hal lain yang merupakan indikator kapabilitas adalah kompetensi/kualitas sekolah yang meliputi: academic development, people and leadership development, academic operation, service axcellent operation, community development, strategic collaboration, knowledge management system, dan financial management.

Sekolah versi 3.0 selalu terbuka terhadap proses transformasi, maka proses evaluasi dan perencanaan program kerja secara periodik menjadi sangat perlu. Penetapan rencana strategis yang dilaksanakan secara bertahap sama pentingnya dengan melakukan proses refleksi, evaluasi, dan perumusan visi-misi sekolah. Agen-agen perubahan perlu dibentuk, baik pada level Guru maupun peserta didik, agar seluruh komunitas sekolah juga menjadi terbiasa untuk menerima dan menghargai perubahan-perubahan yang bersifat positif. Komunikasi dan keterbukaan berbagai pihak di sekolah memberikan ruang bagi proses monitoring dan pemberian feedback, sekaligus sebagai wahana kontrol agar seluruh pihak tetap konsisten dan terarah pada tujuan akhir yang hendak dicapai. Untuk memfasilitasi semuanya diperlukan kemampuan leadership yang matang dan mumpuni, karena dengan kemampuan leadership inilah setiap perubahan dimaknai sebagai sebuah proses penting dalam penetapan kebijakan sekolah.

Demikianlah sekolah versi 3.0 melibatkan dan merangkum keseluruhan aspek penyelenggaraan dan pengelolaan sekolah. Perubahan mindset dan paradigma berpikir menjadi sebuah rekomendasi yang logis, sebab perkembangan jaman (globalization ver. 3.0) juga menuntut pola pikir dan pola prilaku yang berubah demi memfasilitasi dan melayani para peserta didik sesuai dengan konteks jaman dan kebutuhan mereka.

Laporan Amb. Sigit Kristiantoro, School Executive Excursion Program 2012 Singapore Chapter, Binus University with Acer, 7-9 Mei 2012

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment